Assalamu 'alaikum wr. wb.
Izinkan saya menyampaikan pertanyaan yang cukup menggelitik rasa ingin tahu.
Banyak sekali saat ini berkembang apa yang disebut dengan Kedokteran Nabawi. Konon kata mereka yang menganjurkannya, selain diutus menjadi pembawa risalah, beliau SAW juga orang pintar yang pandai mengobati berbagai jenis penyakit. Buktinya kata mereka, Rasulullah SAW itu tidak pernah sakit seumur hidupnya, kecuali dua kali.
Maka semua hadits yang terkait dengan obat-obatan itu pastinya merupakan wahyu petunjuk dari Allah SWT. Maka kita ini tidak perlu belajar kedokteran Barat yang kafir dan hanya berorientasi kepada keuntungan finansial. Kita ini harus kembali kepada kedokteran Nabawi, yang berdasarkan wahyu.
Pertanyaannya adalah apakah benar pemikiran seperti itu? Benarkah Rasulullah SAW itu juga bertugas sebagai nabi bagi para dokter?
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak.
Wassalam
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pertanyaan yang Anda sampaikan memang masalah yang sepanjang zaman selalu menimbulkan perdebatan panjang di kalangan para ulama, dan hingga kini masih dengan masing-masing dalil serta pendukungnya. Pertanyaan itu nampaknya sederhana, tetapi kalau dikaji, diteliti dan didalami, agak sedikit rumit juga.
Pertanyaan itu adalah : apakah perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW yang seperti menginformasikan atau memberitahu tentang berbagai jenis penyakit fisik atau non fisik yang dialami para shahabat, serta berbagai penjelasan beliau SAW tentang tata cara mengatasi dan obat-obatnya itu, merupakan bagian dari syariat Islam dan bernilai tasyri’?
Ataukah semua itu hanya bagian dari kecerdasan beliau SAW yang bersifat manusiawi? Sehingga dimungkinkan untuk diperbaharui, dikaji, dikritisi dan juga bisa kurang sesuai dengan zaman dan tempat?
Dengan kata lain yang lebih sederhana, adakah metode pengobatan dengan metode Nabi SAW? Kalau memang ada, lalu apakah hukumnya bagi umat Islam? Apakah umat Islam di seluruh dunia wajib untuk menjalankan semua bentuk praktek pengobatan dengan menggunakan metode-metode itu? Apoakah hukumnya menjadi wajib, ataukah sunnah? Atau boleh dipakai sebagai alternatif, tetapi kalau tidak cocok boleh juga ditinggalkan?
Di tengah ulama berkembang dua pemahaman yang berbeda terkait dengan perbuatan Nabi SAW. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa tidak semua perbuatan dan perkataan beliau SAW bernilai syariah. Namun sebagian lainnya justru memandang sebaliknya, bahwa segala apa pun yang terkait dengan diri Nabi SAW pasti mengandung nilai-nilai tasyri’. Kedua pendapat ini terus berkembang dengan dalil dan pendukung masing-masing.
A. Memisahkan Antara Sunnah Tasyri’ dan Bukan Sunnah Bukan Tasyri’
Dalam kitabnya Hujjatullah Al-Balighah seperti dikutip al-Qaradawi, Ad-Dahlawi mengatakan bahwa sunnah (perkataan dan perbuatan) nabi itu terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu sunnah dalam konteks penyampaian risalah yang diistilahkan dengan tasyri‘, dan yang tidak ada kaitannya dengan tasyri’.
Yang terkait dengan tasyri‘ misalnya masalah ritual ibadah, atau masalah yang berkaitan dengan akhirat, surga, neraka, ketentuan ibadah, hudud, qishash, munakahat dan seterusnya.
Sedangkan perkara yang masuk dalam klasifikasi bukan tasyri misalnya masalah kedokteran nabi, kebiasaan nabi dalam model pakaian, hal-hal berkaitan dengan adat suatu daerah, penegasan untuk mengingatkan masyarakat dan sebagainya.
Di antara mereka yang secara tegas mengemukakan adanya memisahkan antara sunnah Rasulullah SAW yang bernilai tasyri’ dan yang tidak bernilai tasyri’, antara lain adalah Imam Waliyullah Ad-Dahlawi (wafat 179 H), Al-Qarafi, Syeikh Muhammad Syaltut, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dan lainnya.
Dalam pandangan mereka, tidak semua perbuatan dan perkataan Rasulullah SAW yang ada di dalam hadits-haditsnya merupakan tasyri‘ berkaitan dengan syariah yang bernilai ibadah.
1. Rasulullah SAW Manusia Biasa
Meski pun Rasulullah SAW seorang nabi yang mendapat wahyu dari langit, namun dimensi kemanusiaan beliau tetap melekat, sehingga kadang beliau sedih, marah, gembira, tertawa bahkan melucu dan lainnya. Beliau juga makan, minum, berjalan di pasar, menikahi wanita dan seterusnya, layaknya seorang manusia.
Dimensi kemanusiaan beliau SAW tidak bisa dinafikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu ditegaskan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku."(QS. Al-Kahfi: 110)2. Penetapan Lokasi Pasukan dalam Perang Badar
Dalam sirah nabawiyah kita menemukan beberapa kali Rasulullah SAW bertindak tidak berdasarkan wahyu, tetapi semata-mata berlatar belakang logika dan pendapat subjektif beliau SAW. Hal itu dibolehkan, selama memang tidak ada wahyu atau tidak bertentangan dengan wahyu.
Ketika Rasulullah SAW dalam para shahabat tiba di wilayah Badar, sebagai panglima pasukan muslim beliau memilih suatu tempat sebagai basecamp pasukan.
Namun seorang shahabat yang cukup berpengalaman dalam peperangan dan kebetulan berada diantara yang ikut dalam perang Badar itu, Al-Hujab Ibnul Mundzir radhiyallahuanhu, menilai bahwa posisi tersebut kurang menguntungkan. Maka dia pun bertanya :
يَا
رَسُولَ اللهِ هَذَا مَنْزِلٌ أَنْزَلَكَهُ اللهُ تَعَالىَ لاَ
تَتَقَدَّمَهُ وَلاَ تَتَأَخَّرَ عَنْهُ أَمْ هُوَ الرَّأْيُ وَالحَرْبُ
وَالمَكِيْدَة؟
Ya Rasulallah, apakah tempat ini
adalah tempat yang Allah SWT tetapkan untuk Anda, dimana Anda tidak bisa
maju atau mundur lagi, ataukah posisi ini hanyalah sebuah pendapat,
peperangan dan tipu daya?
بَلْ هُوَ الرَّأْيُ وَالحَرْبُ وَالمَكِيْدَة
Posisi ini hanya sebuah pendapat, bagian dari siasat perang Maka Rasulullah SAW mendengarkan dan menjalan ide dan siasat dari Al-Hujab yang cukup beralasan, yaitu mengambil posisi yang dapat memotong jalur akses air minum pasukan Quraisy dari sumur-sumuber Badar. Dengan cara itu, pasukan lawan akan runtuh sebelum bertempur, karena kehabisan air minum yang sangat vital untuk bisa hidup bertahan di tengah padang pasir. Siasat itu ternyata berhasil dan pasukan muslimin mendapat kemenangan besar dalam perang Badar ini.
Peristiwa ini membuktikan bahwa tidak selamanya Rasulullah SAW bertindak berdasarkan wahyu yang turun dari langit. Terkadang beliau juga menggunakan akal dan logika pribadi, dan ketika hal itu terjadi, dimungkin bahwa hasilnya kurang akurat. Ide Al-Hujab itu membuktikan bahwa Rasulullah SAW mengakui bahwa hasil pemikiran pribadinya masih bisa dikritisi oleh orang lain.
3. Tawanan Perang Badar
Rasulullah pernah salah ketika berijthad masalah tawanan perang Badar. Dalam syura beliau lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu yang ingin membebaskan para tawanan, lantaran mereka masih kerabat dan keluarga.
Sementara Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu cenderung untuk tidak memberi kasihan kepada para pemuka Qurais ini, yang selama ini memang nyata-nyata menunjukkan permusuhan. Bagi Umar mereka semua harus dibunuh saja.
Rasulullah SAW cenderung tidak menerima pendapat Umar bin Al-Khattab. bahwa tawanan itu harus dibunuh. Lalu Allah SWT menegur beliau dalam surat Al-Anfal.
مَا كَانَ
لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ
تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللّهُ يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
Tidak patut bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.
Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki
akhirat. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Anfal: 67) Akhirnya beliau sadar bahwa ijtihadnya salah dan membenarkan pendapat shahabatnya, Umar bin Al-Khattab ra. Sehingga beliau sampai berkata bahwa seandainya dari langit turun azab, pastilah tidak ada yang selamat kecuali hanya satu orang, yaitu Umar bin Al-Khattab ra. Sebab pendapat beliau saja yang dibenarkan Allah SWT.
4. Penyerbukan Bunga Kurma
Rasulullah SAW pernah menolak talqih (penyerbukan pohon kurma) di Madinah sehingga mengakibatkan gagal panen.
أَنَّ
النَّبِيَّ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ: لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا
لَصَلُحَ. قَالَ: فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ: مَا
لِنَخْلِكُمْ؟ قَالُوا: قُلْتَ كَذَا وَكَذَاز قَالَ: أَنْتُمْ أَعْلَمُ
بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Nabi SAW melalui beberapa orang
yang sedang melakukan penyerbukan kurma, beliau SAW mengatakan,
“Kalaulah kalian tidak melakukan hal yang demikian maka hasilnya akan
baik”. (Para sahabat mengikuti perkataan beliau) kemudian hasil kurmanya
jelek. Nabi SAW melalui mereka lagi dan berktanya, “Mana kurma kalian?”
mereka mengatakan, “Anda katakan demikian dan demikian (agar tidak
menyerbukan kurma)” Kemudian beliau SAW bersabda, “Kalian lebih paham
berilmu tentang urusan dunia kalian Ternyata sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Makkah yang memang tidak ada tumbuhan, pengetahuan dan wawasan Rasulullah SAW kalah dengan pengetahuan orang Madinah yang memang sangat ahli dalam bercocok tanam. Ketika Rasulullah SAW berpendapat tidak perlu melakukan talqih, ternyata para shahabat mengira itu datang dari wahyu.
5. Bukan Disambut Malah Disambit
Tatkala Abu Thalib dan Khadijah radhiyallahuanhu wafat di tahun duka cita, Rasulullah SAW sudah tidak lagi memiliki orang yang melindunginya di Mekkah. Maka beliau mulai berpikir untuk hijrah ke luar Mekkah, menuju Thaif. Dalam perkiraan beliau, Thaif akan dengan hangat menyambutnya.
Namun kenyataannya, beliau bukan disambut tapi malah disambit. Padahal pilihan Thaif sebagai tujuan hijrah beliau diperkirakan akan mulus serta akan mendapakatkan daerah dakwah yang baru. Tapi nyatanya, malah beliau berdarah-darah dan lari tunggang-langgang meninggalkan kota itu.
Ini menunjukkan bahwa sekali lagi perhitungan strategis beliau meleset jauh dari perkiraan sebelumnya. Dan ini fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kalau beliau 100% tidak pernah salah, seharusnya tidak perlu ada kejadian seperti ini. Sampai-sampai beliau bermunajat kepada Allah SWT dengan lafadz doa yang panjang, sambil bermohon pertolongan.
6. Mengizinkan Munafikin Bolos Perang
Rasulullah SAW juga pernah salah dalam berijtihad, ketika tidak melakukan tabayyun (pengecekan) terhadap alasan orang-orang munafiqin yang tidak ikut dalam perang Tabuk. Beliau secara gampang begitu saja memberi izin kepada mereka.
Sehingga Allah SWT akhirnya menegurnya atas kemudahan yang beliau berikan, meski pun juga sambil memberi maaf kepadanya dengan firman-Nya:
عَفَا اللّهُ عَنكَ لِمَ أَذِنتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُواْ وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ
Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa
kamu memberi izin kepada mereka, sebelum jelas bagimu orang-orang yang
benar dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (QS At-Taubah: 43)7. Bermuka Masam
Rasulullah SAW pernah ditegur Allah SWT karena bermuka masam tatkala seorang buta, Abdullah bin Ummi Maktum rahiyallahuanhu, mendatanginya untuk masuk Islam dan diajarkan hal-hal yang terkait dengan agama.
Sikap yang kurang etis itu cukup manusia bila dilakukan oleh seorang Muhammad SAW, mengingat saat itu beliau sedang disibukkan untuk mengurusi para pembesar Quraisy.
Sebenarnya Abdullah bin Ummi Maktum tidak sampai diusir atau dihardik saat itu, Rasululah SAW hanya menunjukkan wajah masam yang agak kurang mengenakkan saja.
Namun demikian, teguran dari Allah SWT atas perbuatan yang sebenarnya sangat manusiawi itu lumayan tegas, bahkan menjadi abadi sepanjang zaman sampai datangnya hari kiamat. Karena ternyata Allah SWT menegurnya dalam format ayat Al-Quran, yang tentunya akan dibaca terus-menerus oleh umat Islam sepanjang zaman.
عَبَسَ
وَتَوَلَّى أَن جَاءهُ الأَعْمَى وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى
أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَى أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى فَأَنتَ
لَهُ تَصَدَّى وَمَا عَلَيْكَ أَلاَّ يَزَّكَّى وَأَمَّا مَن جَاءكَ
يَسْعَى وَهُوَ يَخْشَى فَأَنتَ عَنْهُ تَلَهَّى
Dia (Muhammad) bermuka masam dan
berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri
(beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk
mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu
mengabaikannya. (QS. Abasa : 1-10)B. Tidak Ada Pemisahan
Pendapat kelompok yang kedua adalah 180 derajat kebalikan dari pendapat kelompok pertama.
Mereka menilai bahwa Rasulullah SAW itu benar-benar orang pilihan, apa saja yang terkait dengan diri beliau bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau hanya sia-sia.
Dasar pendapat ini antara lain :
1. Perkataan Beliau SAW adalah Wahyu
Beliau tidak mungkin berucap satu patah katapun, kecuali semua atas kehendak Allah SWT. Dan tentunya merupakan wahyu dari Allah SWT juga.
Hal itu seusai dengan firman Allah SWT :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّّ وَحْيٌ يُوحَى عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
Dan (muhammad itu) tidaklah
berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Yang dia ucapkan itu tidak lain
adalah wahyu yang diajarkan oleh Allah Yang Maha Kuat (QS. An-Najm : 3) Karena itulah maka apa pun yang kita dengar dan kita lihat dari diri Rasulullah SAW, semuanya merupakan petunjuk wahyu.
2. Kewajiban Melaksanakan Perintah Rasulullah SAW
Oleh karena semua perkataan dan perbuatan beliau SAW adalah wahtu, maka kita wajib menjadikan semua perbuatan dan perkataan beliau sebagai bagian dari syariat Islam. Dan semuanya mengikat diri kita.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul maka ambillah dan apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah (QS. Al-Hasyr: 7)3. Keberkahan
Diri Rasulullah SAW adalah keberkahan, sehingga apa pun yang beliau lakukan dan katakan, tidak lepas dari keberkahan itu. Termasuk para shahabat selalu berpikir untuk bisa mencium tubuh Rasulullah SAW, seperti yang dialami oleh Ukasyah.
Dia adalah shahabat Nabi SAW dengan cerdas sempat mencium langsung tubuh beliau SAW yang bertelanjang dada. Alasannya, untuk membalas perbuatan nabi SAW yang katanya pernah mencambuknya. Dan saat itu Ukasyah mengaku sedang tidak memakai pakaian.
Tatkala Nabi SAW telah membuka bajunya siap untuk menerima pembalasan atas cambukan Ukasyah, dengan serta merta Ukasyah memeluk dan menciumi tubuh beliau SAW.
Hasilnya, beliau dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW, ketika shahabat yang lain iri melihat apa yang diterima Ukasyah dan meminta Rasulullah SAW menjaminkan surga untuknya, beliau SAW menjawab,
سَبَقَكَ عُكَاشَة
“Ukasyah sudah mendahuluimu”. Kalau menciumi tubuh Nabi SAW mendapatkan keberkahan dijamin masuk surga, maka mengikuti langkah-langkah nabi SAW dalam pengobatan tentunya juga akan mendapatkan keberkahan.
Kesimpulan
Memang ada sebagian ulama yang berpaham bahwa Rasulullah SAW juga dokter yang ahli di bidang obat-obatan, namun pendapat seperti ini hanya sebatas beradar di beberapa kalangan.
Sementara jumhur ulama umumnya menyepakati bahwa harus dibedakan antara sunnah tasy'ri dan sunnah bukan tasyri'. Rasulullah SAW tidak diutus sebagai dokter atau tukang obat, karena ilmu kedokteran itu selalu berkembang, demikian juga dengan obat-obatan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
sumber http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1358989547&=adakah-kedokteran-nabawi.htm