Oleh : Mila Anasanti.
Islam
selalu merujuk masa lalu, seolah masa kini, dan masa depan tidak
menyediakan jawaban yang memuaskan dengan kata lain Islam selalu
berlindung di balik “tempurung” tradisi. …Islam gagal merespon perubahan
dengan berangkat dari ajaran Islam yang substantif dan pengalaman
kebudayaan Islam itu sendiri. Tiadanya kerangka yang memungkinkan ummat
Islam melakukan kritik internal antara lain disebabkan oleh mandulnya
fungsi ijtihad dan penalaran kritis dalam ranah pemikiran
(Ziauddin
Sardar, 2005:7-8).
Kutipan yang pas untuk potret
gambaran ummat Islam saat ini. Tatkala sebagian menolak ilmu-ilmu modern
yang menurut mereka bertentangan dengan aqidah.
Maka berselancar di
dunia internet sekian lamanya masih saya dapati perdebatan antara mereka
yang menolak vaksin, menolak kelahiran secara Caesar, menolak semua
obat-obatan kimia atas nama pengobatan islam berbasis nabi, menolak
konsep teori evolusi secara total dalam bidang biologi atas nama aqidah,
menolak fakta bahwa bumilah yang mengelilingi matahari bukan sebaliknya
di bidang fisika atas nama dalil, dan sebagainya.
Dan
jika diamati dari sejarah ternyata akarnya adalah kesalah-pahaman ummat
Islam di masa lampau dalam mendudukkan filsafat. Kala itu, sains adalah
bagian dari filsafat. Tidak hanya berbicara tentang hal-hal metafisik
tapi juga menyusun kerangka bagaimana melakukan penalaran kritis
terhadap suatu permasalahan.
Kelemahan ummat dalam
mengungkap ‘misteri’ ilmu pengetahuan (sains) secara analitis serta
mengabaikan kecanggihan perkembangan teknologi yang melesat jika merujuk
dalam sejarah adalah faktor internal yang mengakibatkan kemunduran
islam dari era kegemilangannya.
Fakta bahwa sains dan teknologi dalam
bentuknya yang sekarang tidak berkembang dalam Islam bukan merupakan
suatu pertanda dekadensi, sebagaimana sering dikatakan, tetapi merupakan
penolakan Islam yang menganggap setiap bentuk pengetahuan sebagai
benar-benar sekuler.
Maka jika kita bertolak kebelakang dalam sejarah peradaban islam, ketika
nama Al-Kindi disebut sebagai cendekiawan islam pertama yang membawa
filsafat dalam dunia islam, majulah ilmu pengetahuan di segala bidang.Tidak hanya pioneer dalam 1 bidang, ilmuwan-ilmuwan kala itu dikenal
ahli dalam banyak bidang.
Masalahnya filsafat adalah pisau bermata dua,
karena masuknya filsafatlah saat itu peradaban islam semakin maju, tapi
karena filsafat pulalah awal kehancuran islam.
Pisau bermata dua : Tradisi intelektualisme Islam dalam menarik kesimpulan menggunakan logika
Bagian
ini adalah bagian paling penting yang menjadi akar kemunduran ilmu
pengetahuan dalam islam, selain faktor eksternal perang salib yang
berkepenjangan, atau dibumihanguskannya peradaban ilmu pengetahuan islam
oleh bangsa mongol dengan ditenggelamkannya kitab-kitab para ulama dan
ilmuwan.
Kesalah-pahaman sebagian ummat islam dalam
mengolah informasi, mencerna dan menyeleksi dan terlebih tanggung jawab
dan kehati-hatian dalam menyebarkannya adalah doktrin yang bermuara dari
perselisihan yang sangat kompleks di masa lalu.
Al-kindi
adalah ilmuwan yang pertama kali membawa filsafat dalam peradaban
islam. Baginya filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala
sesuatu, maka dalam hal ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan,
etika, dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Tidak ada dikotomi
antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan lain yang membawa pada
kemaslahatan ummat.
Satu pemahaman al Kindi yang dianggap berani dan mendobrak kejumudan
yang ada kala itu yaitu memperkenalkan filsafat ke dalam dunia islam
dengan cara mengetuk hati supaya menerima kebenaran walaupun dari mana
sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang
lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri, bahkan jika itu
harus datang dari orang non muslim sekalipun, tentu saja ini di luar
masalah aqidah.
Namun permasalahannya bukan sekedar
menerima atau menolak ilmu dari kalangan non muslim, tapi termasuk
menolak argumentasi ilmiah. Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang
tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya.
Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika)
dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun
argumentasi.
Bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh
al-Akbar, karya Abu Hanifah di era abad ke-2 H. Selain menggunakan
mantiq, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar
(substansi), yang banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya. Ini
membuktikan, bahwa mantik atau logika sebagai teknik pengambilan
kesimpulan telah digunakan oleh ulama sejak abad ke-2 H/8 M. Hanya saja,
filsafat tidak dikaji secara mendalam pada zaman itu, hanya sekedar
membuktikan pemanfaatan logika dalam menghasilkan konklusi atau
kesimpulan.
Cara menarik kesimpulan yang luas dalam
ilmu logika kemudian diuraikan oleh Ibn Sina meliputi sembilan bagian,
yang di antaranya pembahasan untuk mengetahui secara mendalam mengenai
syarat-syarat analogi dalam menyusun proposisi yang menjadi
premis-premis. Ini dijelaskan dalam kitab Ponethyca, karya Aristoteles.
Lalu pembahasan mengenai analogi yang bermanfaat untuk menyerukan kepada
orang yang kurang paham, dijelaskan dalam kitab Tonica, karya
Aristoteles juga pembahasan mengenai kesalahan berpikir yang terjadi
dalam penyusunan argumentasi dan penggunaan dalil, yang terangkum dalam
kitab On Sophistical Refutations, karya Aristoteles. Kerangka berpikir
ilmiah ini sebenarnya sampai sekarang menjadi dasar di banyak ilmu
pengetahuan termasuk algoritma programming, hingga penarikan kesimpulan
dalam bidang kedokteran.
Pemahaman al kindi memang
diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan dijamannya termasuk Ar Razi, Ibnu Sina dan
lainnya. Mereka melangsungkan debat intelektual secara jujur dan
rasional tetapi dalam semangat saling menghormati. Perdebatan Ilmiah
antara Ibn Sina dan Al Biruni pada abad kesepuluh merupakan salah satu
yang paling luar biasa dalam sejarah intelektual Islam.
Namun pemahaman
ini juga berbahaya ketika mulai masuk ke ranah aqidah. Yang asalnya
berusaha merasionalkan pengetahuan yang merupakan 'ayat-ayat Allah' yang
tersebar di alam alias fenomena alam yang harus diteliti dan ditarik
kesimpulan berdasarkan penelitian ilmiah dan kerangka berpikir analitik,
namun juga mulai berani masuk dalam wilayah merasionalkan eksistensi
‘wahyu’, atau bahkan eksistensi Allah.
Di bidang akidah, penggunaan
logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para
ulama ushuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam.
Ada
pula ilmuwan yang mendalami filsafat hingga menyentuh ke ranah aqidah
lalu tersesat, semisal Ibnu Sina yang dianggap sebagai panutan para
herbalis, dan sebagai ilmuwan islam namun ternyata terpleset secara
aqidah hingga menjadi seorang atheis dan mendapat banyak kecaman
ulama-ulama pada masanya.
Ibnu Sina terpeleset jauh dalam menganut
filsafat Aristoteles yang tidak mengakui alam semesta ada penciptanya,
melainkan alam semesta sudah ada dengan sendirinya tanpa awal, dan Tuhan
tidak punya peran penting dalam penciptaan.
Karena
kekhawatiran akan kesesatan filsafat yang akhirnya mendorong
dikeluarkkannya fatwa haram menerima ilmu dari luar kalangan Islam. Ibnu
Khaldun seorang tokoh sejarahwan yang melakukan perlawanan sengit dalam
menolak pemikiran-pemikiran al kindi, ar razi dan ibnu sina. Namun
masyarakat luaslah yang kemudian salah memahami permasalahan ini.
Sejak
saat itu telah muncul dikotomi antara ayat-ayat kitabiyyah dan ayat-ayat
khauniyyah dikalangan muslim. Jadi timbul persepsi bahwa Islam hanya
berbicara tentang ilmu-ilmu sesuai dengan Al-Qur’an, tetapi tanpa
mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu yang ada di Al-Qur’an dengan
melihat fenomena-fenomena alam semesta.
Sehingga itu merupakan salah
satu faktor kemunduran ilmu pengetahuan di kalangan ummat Islam yang
terjadi hingga kini.
Ketika ruqyah Caesar dibawa ke ranah ilmiah
Tulisan
ini memang sedikit banyak menyoroti trending topik di jagat facebook,
ketika ustadz Nurudin Al Indunissy yang menuliskan kisahnya untuk menolak keputusan Caesar dari
para dokter dan menyodorkan solusi ruqyah agar dapat mengupayakan
persalinan secara pervaginam meskipun para dokter menganjurkan dilakukan
tindakan.
Lantas kemudian, beliau menjanjikan akan
menuliskan secara ilmiah kisah penggunaan ruqyah untuk menggantikan caesar
dalam tulisan yang ternyata sekarang sudah diposting.
Setelah
membacanya saya mengerutkan kening ? Apa sebenarnya definisi ilmiah
yang beliau maksud ? Apakah ada konsensus tentang apa yang dimaksud
'ilmiah' itu antara beliau dengan ilmuwan ?
Dengan tanpa mengurangi rasa
hormat pada beliau yang juga banyak jasanya di bidang ruqyah, yang saya
dapati kutipan-kutipan di tulisan beliau semacam ini:
- Telah lama saya menghembuskan adanya indikasi gangguan non-medis pada
proses Caesar. Maka ini bisa kita bilang masih berupa teori
yang belum dibuktikan, atau bahasa kerennya hipotesis (dugaan)
- Banyak sekali testimony membahagiakan dari saudari-saudari kita yang
tidak jadi Caesar setelah diupayakan melalui upaya spiritual dengan
Teraphy Al Qur’an (ruqyah syariyyah).
Jadi testimoni ini hanya
pengakuan dari orang-orang yang beliau temui, berapa banyak orang ? Dan
ternyata beliau tidak mengamati sendiri secara langsung.
Apakah testimoni atau kesaksian bisa dijadikan dasar pijakan ilmiah? Bisa, ASAL dibuktikan terlebih dahulu. Bagaimana caranya ?
Banyak orang menyandarkan kebenaran hanya berdasarkan terstimoni atau kesaksian orang-orang disekitarnya.
Ketidak-pahaman
mereka terhadap penelitian ilmiah menjadikan mereka tidak mampu
membedakan mana bukti ilmiah yang dapat dipegang dan mana yang hanya
sebatas dugaan tanpa bisa ditelusuri kebenarannya.
Apakah diamati secara
langsung atau sekedar percaya semua kesaksian tanpa memeriksa secara
langsung?
Jika kita tanyakan apakah mereka yakin benar dengan testimoni
mereka, sebagian mengatakan yakin namun tidak mampu membuktikan sesuai
dengan kaidah-kaidah ilmiah, sebagian lagi justru menyatakan tidak ada
kebenaran mutlak di dunia ini, yang ada hanya kebenaran relatif, yang
artinya bisa saja benar bisa saja salah
Coba bayangkan
jika semua kebenaran di dunia ini relatif, dan kita bebas pilih-pilih
sesuka kita dan meyakini semau kita mana saja yang benar menurut ilmu
kebatinan, tentu tidak akan tegak undang-undang di negara ini.
Dua orang
yang bersengketa masing-masing merasa benar. Kebenaran bisa saja
relatif, karena itu diperlukan konsensus atau kesepakatan dengan banyak
pihak dalam mendefinisikan kebenaran sehingga semakin dekatlah kita pada
kebenaran.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dari
masa ke masa, para saintis selalu berusaha mencari metode untuk semakin
mendekati kebenaran yang bisa disepakati bersama.
Salah satunya dengan
menguji testimoni yang kemudian dipercaya sebagai dugaan (hipotesis)
dengan melakukan eksperimen. Hasil akhir eksperimen inilah yang akan
menentukan apakah hipotesis kita ajukan bisa diterima atau ditolak
dengan metode penelitian yang disepakati oleh para ilmuwan dengan
menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang ada, untuk mengukur kekuatan
penelitian yang dilakukan.
Dengan hal ini kebenaran bisa dilakukan
pendekatan untuk menghilangkan unsur relatif, subyektif, bias dan
semacamnya.
Untuk mengukur itu semua, kita mulai dengan
sebuah kisah yang merekonstruksi sains, yaitu kisah yang didasarkan pada
kisah nyata dalam menjadikan dasar berpijak desain eksperimen yang
kemudian disepakati para ilmuwan.
KISAH WANITA PENYICIP TEH YANG MEREVOLUSI SAINS DI ABAD 20.
Kisah
wanita mencicipi teh adalah percobaan random terkenal yang dirancang
oleh Ronald Fisher dan dilaporkan dalam bukunya ‘The Design Experiment
(1935)’. Kisah ini berdasarkan kisah nyata Fisher yang terjadi di
Cambridge, Inggris, pada tahun 1920-an yang kemudian dijadikan dasar
pijakan dalam desain eksperimen.
Pada suatu pesta yang
menghidangkan teh susu yang dihadiri para ilmuwan datanglah Muriel
Bristol, seorang wanita yang mengklaim mampu untuk memastikan hanya
dengan mencicipinya yang manakah, teh atau susu yang ditambahkan pertama
kali di campuran secangkir teh susu.
Bagi sebagian besar orang, klaim
ini nampak mustahil, karena jika kita rasakan campuran teh susu tidak
nampak bedanya mana cara penyajian yang dilakukan apakah susu dulu atau
teh dulu. Jika memang benar memiliki kemampuan demikian, berarti
termasuk memiliki kepekaan indra ke-6.
Fisher adalah
seorang ilmuwan yang tidak mempercayainya begitu saja klaim sepihak
Muriel Bristol meskipun dia mengenal baik Muriel Bristol. Bahkan
seandainya teh susu miliknya yang ditebak dengan benar oleh Muriel
Bristol, dia menganggab bahwa bisa jadi itu hanyalah kebetulan semata.
Peluangnya adalah fifty-fifty. Karena hanya 1 cangkir yang ditebak.
Bagaimana jika dia menyodorkan 10 cangkir dan kemudian semuanya berhasil
ditebak ? Tentu klaim Muriel akan lebih meyakinkan untuk dipercaya,
apalagi jika diajukan 100 atau bahkan 1000 gelas dan semuanya benar
ditebak misalnya ? Tentu semakin banyaknya sample maka semakin kuat pula
kita mendekati kebenaran untuk mempercayai apakah klaim Muriel benar
atau tidak
Untuk menguji kebenarannya, Fisher
memberinya delapan gelas, empat dari masing-masing cangkir dituangkan
teh lalu susu, empat yang lainnya dituangkan susu dulu baru teh, lalu ke
8 cangkir tersebut diatur ke meja secara acak.
Dengan begini kita bisa
mempertanyakan apa peluang bagi Muriel Bristol untuk mendapatkan
sejumlah tertentu dari cangkir yang dia identifikasi benar, tetapi hanya
kebetulan. Perlukah memberitahu Muriel bahwa ada 4 cangkir yang
dituangkan susu dulu ? Jika kita beritahu hanya ada 4 cangkir dan
cangkir itu disusun tanpa acak tentu peluang Muriel untuk menebak akan
lebih besar sehingga pembuktian kemampuan six sense Muriel akan menjadi
lebih lemah.
Deskripsi Fisher kurang dari 10 halaman
panjangnya dan terkenal karena kesederhanaan dan kelengkapannya mengenai
terminologi, perhitungan dan desain percobaan. Memang Fisher tidak
terfokus menyatakan apakah Muriel benar memiliki 'kelebihan' dalam
mengenali teh susu karena tidak terlalu besar implikasinya dalam
kemaslahatan ummat, tapi yang terpenting adalah metode yang diusulkan
Fisher untuk membuktikan apakah suatu klaim layak untuk dipercaya
setelah melewati serangkaian uji ataukah hanya sebatas klaim.
Terutama
untuk klaim-klaim yang menyangkut keselamatan nyawa. Metode yang
diujikan Fisher ini kemudian dikenal dengan Fisher test, yang kemudian
dipakai secara umum oleh ilmuwan-ilmuwan yang melakukan uji klinik untuk
mengukur tingkat kebenaran.
Dengan demikian percobaan
atau eksperimen adalah sarana untuk memvalidasi gagasan Fisher dari
‘hipotesis nol’, yaitu kebenaran yang lebih banyak dipercayai orang,
dalam kasus ini Muriel Bristol hanya asal klaim, dia sama seperti orang
biasa, tidak memiliki kemampuan istimewa, dan menguji 'alternatif
hipotesis' bahwa bisa jadi Muriel Bristol memang memiliki 'kelebihan'
dengan serangkaian percobaan. Jika hipotesis alternatif terbukti maka
bisa kita tentukan tingkat kebenarannya, berapa persen kebenaran itu
diterima atau ditolak.
Jadi bukan sekedar asal mungkin,
asal testimoni, hal yang paling fatal yang tidak akan pernah terjadi
dalam pembahasan ilmiah. Dan sayangnya dari kasus ruqyah untuk caesar ini,
yang beliau tuliskan hanya pengamatan 1 orang yaitu istrinya saja yang
mana ini tidak bisa diterima secara ilmiah. Ok, mungkin beliau
menerapkannya pada orang-orang yang diruqyahnya juga, tapi berapa
jumlahnya ? Berapa peluang bahwa ini hanya kebetulan? Berapa jumlah yang
berhasil ? Berapa jumlah yang gagal ? Jika ternyata lebih banyak yang
gagal, jujurkah kita hanya melaporkan yang berhasl ?Tanpa pengamatan
bagaimana kita bisa memastikan ? Bisa jadi keberhasilannya karena
ikhtiar yang lain atau memang kasusnya beragam ? Semua itu harus
dituliskan secara transparan oleh seorang ilmuwan yang ingin menerbitkan
jurnal ilmiah agar tulisannya diakui sebagai tulisan ilmiah. Karena ini
menyangkut nyawa, telat tindakan dilakukan SC bisa 2 nyawa melayang
sekaligus ! Apalagi jika diikuti secara massal.
Berdasarkan
dari kisah inilah, pijakan ilmiah dalam dunia kedokteran disusun. Bahwa
segala klaim tidak bisa langsung dipercaya begitu saja tanpa adanya
eksperimen untuk menguji coba kebenarannya. Dan alur berpikir semacam
ini sebenarnya asal kerangkanya adalah ilmu logika. Kita memang tidak
bisa mendapatkan kebenaran secara mutlak, tapi kita bisa mendapatkan
kebenaran yang terukur. Apa yang selama ini dilakukan para ilmuwan bukan
mendapatkan kesimpulan percobaan yang 100% benar, tapi mendapatkan
kesimpulan yang mendekati benar dengan tingkat confidence (kepercayaan)
sedapat mungkin mendekati seratus persen.
Wallaahu a'lam.