Q: Apakah vaksin itu halal?
Isu kehalalan
vaksin dipertanyakan sebab adanya enzim tripsin babi yang digunakan sebagai
katalisator. Sebagai seorang Muslim yang diwajibkan menjaga diri dari barang
haram sekaligus dokter yang memahami pentingnya vaksinasi tentu saja isu
ini sangat meresahkan saya. Alhamdulillah banyak ustadz yang berkompeten di
bidang agama dengan pemahaman yang benar dan ilmu kedokteran yang mendalam.
Berikut rangkuman dari data yang saya miliki terhadap status vaksin dimata
syariat.
Menanggapi
penggunaan unsur babi dalam vaksin, ulama ada dua pendapat, yaitu:
1. Para ulama yang menganut madzhab Syafi’iyyah
melarang penggunaan unsur dari babi, namun jika kondisinya darurat dan tidak
ada alternatif lain maka hukumnya mubah. Larangan ini berdasarkan al qur’an
dalam ayat Q.S 2: 173, 5: 3, dll
2. Para ulama yang menganut madzhab Hambaliyah
tidak mempermasalahkan dengan berpedoman pada kaidah fiqih yang disebut
ISTIHALAH, yaitu menghalalkan bahan yang semua haram karena telah berubah
sifat. Enzim tripsin berbeda dengan daging babi, sehingga ulama-ulama tidak
mempermasalahkannya.
Ibnul Qayyim
berpendapat, “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka
hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni
dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin
benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda
suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan
tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil
benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal
hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.” [15]
Bisa kita ambil
contoh benda yang tadinya halal menjadi haram seperti beras berubah menjadi
sake atau makanan yang menjadi kotoran. Sementara itu contoh benda haram
menjadi halal seperti kotoran dan kencing binatang berubah menjadi biogas atau
nira kelapa difermentasi menjadi tuak (khamr) lalu berubah lagi menjadi cuka.
Sifat benda sekarang yang menjadi patokan bukan benda asalnya.
Dalam salah satu
kaidah fiqih disebutkan bahwa, "Mendapatkan manfaat yg lebih besar itu
lebih utama utk dilakukan daripada meninggalkan madlorot yg lebih kecil."
Contoh aplikasi
kaidah ini adalah:
Kasus ekstrim,
dimana kita terdampar di sebuah pulau dan tdk ada makanan selain babi, maka
kita diijinkan memakan babi tersebut selama kita sekedar mempertahankan hidup,
tidak menginginkannya, dan tidak melampaui batas. Jika ada bahan makanan lain,
maka kita harus memilih yg lebih halal.
Rujukan kasus
darurat ini adalah QS. Al Baqoroh (2):173. Batasan darurat itu:
a. Tidak ada bahan
makanan yang lain
b. Sekedar untuk
menyambung hidup
c. Tidak
berlebihan, tidak menikmati, tidak menginginkannya
d. Jika ditemukan
bahan lain yang lebih halal, maka HARUS memilih yang lebih halal, dan bahan
haram tadi HARUS ditinggalkan.
Syaikh Abdul Aziz
bin Baz rahimahullah [sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]
dan Majelis Ulama Eropa [Disarikan dari http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203]
memperbolehkan vaksinasi jika mengkhawatirkan tertimpa penyakit akibat
wabah-wabah atau sebab lainnya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai
maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Ada kaidah begini:
siapa yang percaya mutlak kepada sebab dia syirik, siapa yang tidak percaya
mutlak kepada sebab dia kufur.
Misal: orang yang
percaya 100% bahwa vaksinasi PASTI melindungi anak dari penyakit lupa bahwa
Allah lah yang menurunkan penyakit, sehingga tidak pernah berdoa kepada Allah
minta perlindungan dari penyakit (karena 100% mengandalkan vaksinasi) maka dia
syirik. Sudah menuhankan vaksinasi.
Sebaliknya: orang
yang tidak mau berikhtiar sama sekali, termasuk tidak mau vaksinasi, tidak mau
berobat, dll karena tidak percaya mutlak kepada sebab dan hanya bilang bahwa
saya percaya akan takdir Allah, kalo ditakdirkan sakit ya pasti sakit, kalo
sehat ya pasti sehat, sama dengan paham fatalistik, maka dia sudah kufur (Al
Islam, Said Hawwa).
Di Indonesia hanya
ada 3 vaksin dengan tripsin babi yaitu meningitis, polio injeksi dan rotavirus.
Sementara vaksin meningitis produksi China dan Italia telah mendapatkan label
halal dari MUI. Untuk vaksin polio bisa dipilih polio oral (OPV) apalagi
Indonesia belum dinyatakan bebas polio. Vaksin rotavirus bisa digunakan
produksi Jepang yang menggunakan kelinci.
Proses pembuatan
vaksin berbeda dari pembuatan obat puyer dimana semua bahan dicampur dalam satu
wadah lalu digerus bersamaan sehinggi semua bahan tercampur. Proses pembuatan
vaksin skala industri menggunakan industrial plants yang kompleks dan
terintergrasi. Produksi vaksin meliputi tahap sebagai berikut:
a. Produksi seed
(parent seed, master seed, dan working seed)
b. Fermentasi
working seed
c. Isolasi antigen
vaksin
d. Purifikasi
(pemurnian) polisakarida vaksin.
Dalam setiap tahap
bahan baku untuk tahap tertentu tidak akan bersinggungan dengan tahapan
berikutnya.
Perlu untuk
diketahui peranan tripsin babi sendiri di dalam vaksin. Sel bakteri yang
digunakan untuk vaksin memiliki dinding berupa protein. Enzim tripsin babi
hanya berfungsi sebagai gunting untuk memotong rantai panjang protein menjadi
peptida rantai pendek yaitu asam amino. Setelah mengalami fermentasi sel-sel
bakteri ini akan dipecah dan polisakarida yang ada di sebelah dalam dinding
bakteri tersebut diambil. Polisakarida inilah yang digunakan sebagai antigen
dalam vaksin. Jadi, antigen yang digunakan dalam vaksin ini tidak bersinggungan
baik langsung maupun tidak langsung dengan enzim tripsin babi.
Polisakarida
tersebut juga melewati proses pemurnian (purifikasi) dengan cara pencucian dan
pengenceran working seed. Pencucian working seed terjadi 1 : 67,5 milyar kali,
jadi dicuci dan diencerkan sebanyak 67,5 milyar kali. Keputusan hukum PP
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama no 04 th 2010 tentang vaksin meningitis:
pensuciannya sesuai untuk najis berat. Enzim tripsin berperan sebagai
katalisator yang mempercepat reaksi hingga seribu kali. Tanpa biokatalisator
tripsin ini reaksi akan berjalan sangat lambat, bahkan bisa bertahun-tahun
sehingga tidak efektif.
Saat ini para
ilmuwan sedang terus mencoba untuk mengembangkan metode lain, seperti membuat
vaksin dengan media tumbuhan. Namun, menciptakan teknologi tidaklah semudah
membalik telapak tangan. Bisa jadi nanti anak-anak kita yang cerdas dan sehat
ini yang akan memperbaiki teknologi ini bukan?
Kesimpulan:
vaksinasi mubah silahkan jika ingin melakukan vaksinasi jika sesuai dengan
keyakinan.
Sumber:
Dr. Soedjatmiko,
SpA(K), MSi* dalam http://www.antaranews.com/berita/292632/tanya-jawab-kehalalan-dan-keamanan-vaksin?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter
Prof DR Umar
Anggara Jenie, guru besar Farmasi UGM dalam kultwit vaksin halal dan thoyyibah http://chirpstory.com/li/10761
Q:
APAKAH VAKSIN MENYEBABKAN AUTISME?
Isu
vaksin menyebabkan autis selalu meresahkan para orang tua. Isu ini berawal dari
seorang dokter ahli bedah, Andrew Wakefield, membuat penelitian yang hasil
akhirnya membuktikan vaksin MMR menyebabkan autisme. Penelitian ini dilakukan
pada tahun 1998 diterbitkan di jurnal kedokteran yang terpercaya yaitu The
Lancet dan diumumkan secara besar-besaran. Dunia geger dan orang tua di seluruh
dunia mengalami kepanikan menolak vaksinasi terutama MMR.
Para
ilmuwan dan WHO tidak tinggal diam, dilakukan penelitian yang sistemastis
dengan banyak sampel. Dari penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia,
sebelas penelitian besar membuktikan bahwa MMR tidak menyebabkan autisme dan
enam penelitian besar berhasil membuktikan keamanan thimerosal.
Setelah
ditelusuri ternyata Wakefield menerima suap jutaan dollar untuk membuat
penelitian rekayasa yang menghasilkan merk vaksin MMR yang digunakan saat itu
menyebabkan autisme. Penelitian Wakefield ini hanya melibatkan 12 anak yang
tentunya sangat tidak mewakili komunitas masyarakat di seluruh belahan dunia.
Penelitian ini juga terbukti tidak disetujui oleh Komite Etik tempatnya bekerja
dan dicemari dengan pemalsuan data.
Pada
tahun 2005 The Lancet mulai menarik artikelnya dan keterangan tentang
ketidakbenaran penelitian ini telah diumumkan secara resmi di jurnal resmi
kedokteran Inggris yang sangat berpengaruh di dunia kedokteran: British Medical
Journal yang terbit pada bulan Februari 2011.
Vaksin
dan bahan yang terkandung di dalamnya (thimerosal) tidak terbukti menyebabkan
autisme maupun kerusakan otak. Kejadian autisme biasanya terdiagnosis pada
tahun kedua usia bayi dimana pada usia tersebut bayi memang sering divaksinasi.
Dan pada pemeriksaan tubuh anak tidak terdapat kenaikan kadar merkuri baik di
darah, rambut maupun sel-sel yang lain. Berdasarkan penelitian meta-analisis
yang membandingkan anak yang divaksin dengan yang tidak divaksin dihasilkan
kejadian autismenya sama di kedua kelompok (pada anak yang tidak divaksin pun
ternyata tetap muncul kasus autisme). Oiya, meta analisis itu adalah tingkatan
penelitian tertinggi.
Sumber:
Q:
Benarkah ada merkuri yang berbahaya di dalam vaksin?
Sebagai
orang tua tentu saja kita ingin melindungi anak-anak kita. Kita tidak mau ada
bahan berbahaya yang masuk ke dalam tubuh anak kita. Isu adanya merkuri di
dalam vaksin meresahkan banyak pihak. Isu tersebut mengingatkan kita akan
kejadian tragedi Minamata dimana keracunan merkuri menimpa warga di Minamata
Jepang sehingga muncul penyakit keracunan merkuri pada tahun 1956. Hal ini
dikarenakan adanya pabrik kimia yang membuang limbah mengandung metilmerkuri
(methylmercury) ke Teluk Minamata pada tahun 1932-1968.
Didalam
kehidupan kita sehari-hari, merkuri dikenal dalam 3 bentuk :
1.
Logam merkuri (elemental). Biasa ditemui pada termoter
tua. Merkuri tipe ini tidak bisa di serap oleh tubuh melalui oral (dimakan)
-kemampuan penyerapannya hanya 0.01%- sementara melalui proses inhalasi dapat
diserap sampai > 80%.
2.
Merkuri anorganik. Jenis merkuri ini dapat diserap
tubuh secara oral sampai 7 - 15 %, bentuk senyawa merkuri ini biasa ditemukan
pada batrei.
3.
Merkuri organik (methylmercury fungisida, fenil
merkuri, ethylmercury). Jenis merkuri ini mampu diserap tubuh melalui proses
oral sampai 90%.
Merkuri
disebut juga hydrargyrum atau air perak karena sifatnya yang cair seperti air
dan berkilau seperti perak. Jangan kan pada vaksin, ternyata logam berat
merkuri banyak ditemukan di alam ini bahkan pada bahan makanan. Merkuri banyak
kita temui di alam, sebagai mineral di bebatuan, dalam tanah, air, bahan bakar
fosil seperti batubara, sumber mata air panas dan letusan gunung berapi.
Merkuri organik ini juga bisa berasal dari merkuri anorganik yang dimetabolisme
oleh mikroorganisme yang hidup dalam air menjadi merkuri organik.
Merkuri
organik yang sering ditemukan di alam adalah metilmerkuri, merkuri yang sama
yang menyebabkan tragedi penyakit Minamata. Ikan dan kerang-kerangan memiliki
kemampuan untuk menyimpan merkuri di dalam tubuhnya, dan memiliki sifat
biomagnifikasi yaitu konsentrasi makin besar di tingkat piramida makanan yang
makin tinggi artinya pemangsa memiliki konsentrasi merkuri lebih tinggi
dibandingkan yang dimangsa. Metilmerkuri terdapat di ikan catfish, grouper,
makarel, sarden, hiu, tuna, kerang, tiram, kepiting, lobster dan udang.
Metilmerkuri
ini waktu paruhnya sangat lama yaitu 50 hari di darah dan hingga 120 hari di
otak manusia sehingga lama dikeluarkan dari tubuh. Karena metilmerkuri ini lama
di dalam tubuh, maka jika kadarnya berlebihan bisa memasuki jaringan otak
bahkan plasenta dan akan merusak otak bayi. Metilmerkuri bahkan ditemukan di
air susu ibu (ASI) saat ibu mengkonsumsi bahan yang mengandung metilmerkuri.
Merkuri
memiliki efek antibakterial (antiseptik) dan antijamur sehingga banyak
digunakan sebagai preservative dalam berbagai produk baik medis maupun
non-medis seperti kosmetik. Zat yang biasa digunakan adalah thimerosal atau
thiomerosal. Thimerosal dimetabolisme menjadi 46,9% merkuri organik yang berupa
etilmerkuri dan thiosalisilat. Etilmerkuri ini waktu paruhnya sangat jauh lebih
singkat daripada metilmerkuri yaitu 7 hari akan dikeluarkan dari tubuh.
Penggunaan etilmerkuri dinyatakan tidak berbahaya bagi tubuh. Etilmerkuri
menjadi berbahaya, baik untuk dewasa dan anak-anak, apabila kandungannya
1000-1000000 kali lipat dari yang ada di dalam vaksin.
Beberapa
tahun yang lampau berhembus isu thimerosal menyebabkan kerusakan otak pada anak
dan autisme. Isu ini sangat meresahkan para orang tua dan menurunkan kepercayaan
pada vaksinasi. Akhirnya FDA, EPA dan ATSR melakukan serangkaian penelitian.
Dari serangkaian penelitian, FDA memutuskan bahwa thimerosal dinyatakan aman
sebagai preservative vaksin. Namun, akhirnya pada tahun 2001 thimerosal sudah
tidak digunakan lagi sebagai preservative dalam vaksin untuk anak-anak.
Penghilangan thimerosal bukan karena etilmerkuri tidak aman, namun karena
menghindari kekhawatiran para orang tua. Hanya vaksin multidosis yang
menggunakan thimerosal, yaitu kemasan vaksin yang diambil berkali-kali.
Jadi,
saat ini sebagian besar vaksin untuk anak sudah bebas dari thimerosal atau
merkuri. :)
Sumber:
Q:
Apakah bahan vaksin berasal dari nanah?
Nanah?
Membayangkan nanah yang ada di jerawat saja saya jijik apalagi membayangkan zat
tersebut disuntikkan ke dalam tubuh bayi saya. Isu ini terkait dengan sejarah
pembuatan vaksin.
Sebelumnya
perlu dipahami bahwa produksi vaksin itu adalah produksi dalam jumlah sangat
banyak di skala industri modern yang besar. Sehingga ketersediaan bahan untuk
membuat vaksin harus selalu terjamin kualitas maupun kuantitasnya, berbeda
dengan mbok jamu yang tiap kali mau memproduksi jamu godhong kates (daun
pepaya) beliau pergi ke kebun lalu memetik daun pepaya segar setiap hari untuk
ditumbuk menjadi jamu.
Pada
tahun 1718, Lady Mary Wortley Montague seorang bangsawan Inggris melihat
kebiasaan bangsa Turki Othmany melakukan inokulasi, yaitu mengambil cairan
nanah dari penyakit cacar dengan gejala ringan (smallpox) ke anak yang sehat.
Kebiasaan itu terbukti melindungi anak-anak dari penyakit cacar
(smallpox/variola) yang sangat menular dan mematikan. Lady Mary kemudian
melakukan hal tersebut kepada kedua anaknya.
Pada
tahun 1796, seorang dokter di pedesaan Inggris mengamati bahwa para pekerja
yang terpapar dengan cacar sapi (cowpox) terlihat kebal terhadap serangan cacar
(smallpox/variola). Akhirnya dokter tersebut, Edward Jenner, mencoba mengambil
cairan nanah dari cacar sapi (cowpox) dan menginokulasikannya ke seorang anak laki-laki
sehat berusia 8 tahun, James Phillips, dan berhasil menciptakan kekebalan
terhadap infeksi cacar variola. Oleh sebab itu vaccination berasal dari kata
vacca yang artinya sapi, karena vaksinasi pertama kali dilakukan dengan
mengambil virus yang menginfeksi sapi untuk membentuk kekebalan terhadap
smallpox.
Itu
kejadian lebih dari 200 tahun yang lalu, memang benar berasal dari nanah sapi.
Namun, untuk masa sekarang ini, teknologi kedokteran sudah sangat berkembang
dengan pesat sehingga virus dan bakteri yang digunakan untuk vaksinasi bukan
diambil dari nanah lagi. Pembuatan vaksin itu adalah industri skala besar jadi
ketersediaan bahan harus terjaga konsistensi jumlah dan kualitasnya. Tidak
seperti orang menanam padi yang tiap 3 bulan panen, apa iya perusahaan vaksin
mau memelihara orang sakit cacar sehingga tiap hari mau dipanen nanahnya? Jelas
tidak mungkin, karena orang sakit cacar juga tidak tiap hari ada. Oleh sebab
itu, virus dan bakterinya dipelihara di laboratorium untuk dijaga kualitas dan
jumlahnya sehingga produksi vaksin skala besar bisa dilakukan setiap saat
selama vaksin tersebut masih dibutuhkan.
Sumber:
Q:
Apakah vaksin terbuat dari janin? Apakah vaksin terbuat dari ginjal kera?
Apakah vaksin terbuat dari babi dan anjing?
Penggunaan
vaksin “dari janin” ini biasanya menuai kontroversi di umat Katholik. Namun,
siapa pun pasti ngeri plus jijik jika mendapat informasi vaksin terbuat dari
janin, kera, babi dan anjing.
Serupa
dengan keterangan di atas, perlu dipahami bahwa produksi vaksin itu adalah
produksi dalam jumlah sangat banyak di skala industri modern yang besar.
Sehingga ketersediaan bahan untuk membuat vaksin harus selalu terjamin kualitas
maupun kuantitasnya, berbeda dengan mbok jamu yang tiap kali mau memproduksi
jamu godhong kates (daun pepaya) beliau pergi ke kebun lalu memetik daun pepaya
segar setiap hari untuk ditumbuk menjadi jamu.
Isu
ini muncul berkaitan dengan sejarah penemuan media yang digunakan untuk
pengembangbiakan virus dan bakteri yang akan digunakan dalam vaksin.
Media tumbuh ini ibarat “tanah” bagi pohon kelapa. Namun, virus dan bakteri
sayangnya berbeda dengan pohon kelapa yang bisa tumbuh di tanah manapun, mulai
dari daerah pantai hingga puncak gunung yang gersang.
Pada
era modern saat ini, bakteri bisa ditumbuhkan dan dipelihara di lingkungan
laboratorium tanpa memerlukan media hewani, jadi tinggal diberi zat makanannya
dan lingkungan yang nyaman bagi bakteri itu. Namun, berbeda dengan bakteri,
virus memerlukan media khusus, yaitu sel seperti sel-sel embrio di telur ayam.
Sel yang bisa digunakan untuk menumbuhkembangkan virus pun adalah sel khusus
yang terjaga kemurniannya di laboratorium dengan teknologi kultur jaringan,
yaitu strain cell atau cell line.
Strain
cell berupa cell line ini tidak mudah diperoleh, para ilmuwan di laboratorium
senantiasa bereksperimen dengan penuh ketelitian di bawah pengawasan Komite
Etik untuk menjaga agar penelitian tetap berjalan sesuai hukum dan koridor keilmuan
yang etis. Strain cell ini dikondisikan untuk mendapatkan satu jenis sel
tunggal yang abadi dan selalu berkembangbiak yang disebut cell line. Karena
untuk membuat vaksin skala industri dibutuhkan media sel yang murni, berjumlah
sangat besar dengan konsistensi sifat yang sangat terjaga. Cell line ini
asalnya bermacam-macam dan memang ada yang berasal dari tikus, mencit, kelinci,
sel kanker, janin manusia, kera, anjing dan lain-lain.
Alkisah,
ilmuwan mencoba untuk membiakkan virus di berbagai media sel. Pada tahun 1936
Albert Sabin dan Peter Olitsky membiakkan sel otak yang berasal dari janin
manusia yang sudah keguguran untuk membuat vaksin polio. Kemudian pada tahun
1951, Jonas Salk berhasil membiakkan sel dari ginjal kera (Vero cell line)
untuk vaksin polio. Hingga kini sel Vero ini dipelihara dan dikembangbiakkan
untuk memproduksi vaksin polio, variola, rotavirus dan japanese encephalitis.
Pada tahun 1958 juga dikembangkan sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) yang
diambil dari ginjal anjing cocker spanyol.
Virus
memerlukan sel tertentu untuk hidup, virus manusia membutuhkan media sel
manusia. Sel manusia ini bisa berasal dari sel kanker (contoh: Hela cell line
berasal dari sel kanker seorang pasien wanita Henrietta Lacks) atau sel janin
yang sebelumnya telah meninggal di rahim sang ibu. Janin yang meninggal di
rahim memang harus dikuret, sebab jika tidak dia akan menjadi racun bagi rahim
dan ibunya. Dengan persetujuan keluarga serta di bawah pengawasan Komite Etik
para ilmuwan melakukan percobaan kultur jaringan dari sel-sel janin yang telah
dikuret itu. Sel-sel ini disemai di media khusus di laboratorium sehingga
diperoleh sel abadi, yang selalu membelah diri, tidak bisa mati dan terjaga
konsistensi sifatnya.
Berbeda
dengan sel-sel kanker, sel diploid janin manusia memiliki jumlah kromosom yang
sama seperti sel-sel normal manusia. Pada tahun 1960-an rubella kongenital
yaitu infeksi virus rubella pada wanita hamil menyebabkan banyak janin yang
mati dalam kandungan. Pada tahun 1961 di Amerika Serikat, ada janin perempuan
berumur 3 bulan yang diserang oleh virus rubella, janin ini kemudian meninggal
di rahim ibunya. Janin kemudian dikuret dan atas persetujuan semua pihak
digunakan untuk mengetahui rubella kongenital dan mendapatkan cell line yang
tepat untuk media virus rubella. Dari sel-sel di paru-paru janin diperoleh
strain cell WI-38 yang sangat cocok untuk mengembangbiakkan rubella. Sementara
itu pada tahun 1965, di Inggris juga diperoleh strain cell WRC-5 dari paru-paru
janin laki-laki berusia 14 minggu yang meninggal di rahim akibat rubella
kongenital. Dari kedua strain cell ini, WI-38 dan WRC-5, berhasil dibuat vaksin
rubella dengan tingkat efektifitas 95% untuk mencegah kematian dan kecacatan
janin akibat rubella kongenital. Strain cell ini juga digunakan untuk membuat
vaksin hepatitis A, varicella, zoster, rabies dan adenovirus.
Hingga
saat ini saya tidak menemukan adanya vaksin yang dibuat dari SEL babi atau DNA
babi.
Jadi,
yang saat ini digunakan untuk membuat vaksin di pabrik vaksin adalah sel vero,
sel MDCK, sel WI-38 dan MRC-5 ini. Bukan janin-janin atau kera-kera atau
anjing-anjing dibunuh setiap hari untuk membuat vaksin. Dan, usia sel-sel
inipun sudah jauh lebih tua daripada saya, usia mereka sudah 40 tahun lebih dan
mereka hidup terjaga kemurniannya di laboratorium. Pihak gereja Katholik pun
akhirnya memberikan ijin atas penggunaan vaksin-vaksin ini. Kabar baiknya saat
ini Biofarma berhasil mengembangkan media dari sel tumbuhan jagung, sehingga
kita tidak perlu khawatir lagi.
Sumber:
diambil dari notes
dr.Annisa Rohima Karnadi http://www.facebook.com/notes/annisa-rohima-karnadi/vaksinasi-renungan-panjang-sebuah-kebimbangan/10150909024277548
Tidak ada komentar:
Posting Komentar