Rabu, 08 Agustus 2018

Ibnu sina (The Prince of Physicians), membangun peradaban Islam dengan kontribusinya dalam perkembangan imunisasi

By : Mila Anasanti
-----------------------------------------------------------------------
Kemarin seharian google menampilkan sosok Ibnu Sina atau Avicenna untuk mengenang jasanya di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran di hari ulang tahunnya yang ke 1038 (sebagaimana saya screenshot di gambar terlampir). Ada yang sempat melihat?
Ini menarik, karena Ibnu Sina yang oleh bangsa barat dianggab sebagai ilmuwan islam, tapi diakui sangat mendalam jasa-jasanya oleh bangsa barat bahkan setelah melewati kurun lebih dari 1 millenium.
Abu Ali Al-Hussein Ibn Abdullah Ibnu Sina, nama aslinya, dikenal di Barat sebagai Avicenna. Terlepas dari kritik atas beberapa tulisannya terkait aqidah, dia diakui sebagai dokter dan filosof paling terkemuka di zamannya yang memberikan sumbangsi besar pada kemajuan pengobatan Islam dan Eropa selama beberapa abad. Dia diberi nama oleh murid dan pengikutnya sebagai "Al Shaikh Al Ra’ees" atau 'orang bijak'. Sedangkan bangsa Eropa sendiri memanggilnya sebagai "The Prince and Chief of Physicians (Pangeran dan pemimpin para dokter)", The Galen of Islam. Sebagai seorang pemikir, ia mewakili puncak kebangkitan Islam, dan digambarkan memiliki kejeniusan setara Leonardo da Vinci.
Ibnu Sina lahir pada tahun 980 M di dekat kota Bukhara yang saat ini menjadi negara Uzbekistan. Pada usia sepuluh tahun, Ibnu Sina berhasil menghafal Al-Quran dan menguasai ilmu penunjangnya, termasuk mahir dalam bahasa Arab dan sastra klasik. Dia juga dikenal sebagai orang yang pandai bersajak dalam sastra arab. Ibnu Sina adalah tokoh yang sangat berpengaruh pada Zaman Keemasan Islam' (abad ke-9 hingga abad ke-12).
Hingga usia 16 tahun ia mengabdikan waktunya untuk belajar hukum Islam, filsafat, logika dan ilmu pengetahuan alam. Pengaruh filsafat diyakini mempengaruhi aqidahnya selanjutnya. Pada usia tiga belas tahun, dia mulai belajar ilmu kedokteran. Pada usia delapan belas tahun, ia telah dikenal sebagai dokter yang ahli di mana reputasinya terkenal di negaranya maupun di luar negerinya.
Ibn Sina dikenal menulis buku "Al Qanun fi at-Tibb", yang dikenal di Barat sebagai "Canon", sebuah karya 'masterpiece'nya yang paling berpengaruh, yang diakui bangsa barat sebagai "The Medical Bible of the Middle East".
Qanun bisa dibilang sebuah ensiklopedia yang ditulis dalam bahasa Arab yang pernah menjadi referensi standar untuk pendidikan kedokteran di Barat dari abad ke 11 hingga abad ke-17 dan di negara-negara Timur Tengah sampai abad ke-19 (kurang lebih hamper 1 milenium). Ibnu Sina mulai menyusun Canon pada sekitar 1012 M, lalu menyelesaikannya antara 1020 dan 1025 M.
Qanun sendiri terdiri dari lima volume yang masing-masing mencakup topik medis tertentu. Volume pertama dikhususkan untuk masalah-masalah umum dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan obat-obatan; volume kedua terutama memberikan deskripsi tentang beberapa obat, disusun menurut abjad; volume ketiga berkaitan dengan berbagai penyakit yang melibatkan organ tubuh (dari kepala hingga kaki) dan berbagai temuan klinis; volume keempat menyajikan penyakit yang mempengaruhi lebih dari satu bagian tubuh, seperti demam; dan volume terakhir menjelaskan resep untuk pengobatan. Dalam menulis buku ini, Ibnu Sina banyak mengambil referensi pengobatan dari Galen dan Ar-Razi, dan menggabungkannya dengan pengalaman klinis yang dimilikinya, bahkan adakalanya dia mengkritisi tulisan kedua ilmuwan tersebut.
Pada volume ke-4 inilah Ibnu Sina memiliki kontribusi yang luar biasa pada pengembangan vaksin Rabies beratus tahun setelahnya. Dia memberikan deskripsi yang sangat teliti tentang manifestasi, diagnosis, prognosis, dan pengobatan penyakit rabies.
Berdasarkan bukti yang ditemukan dalam naskah Yunani dan Cina kuno, manusia telah mengenal sejak zaman kuno bahwa rabies adalah penyakit manusia yang berbahaya terkait dengan anjing. Misalnya, Kode Mosaic Eshnunna pra-peradaban Mesopotamia kuno, yang berusia sekitar 4.000 tahun, berisi indikasi awal mengenai gigitan anjing gila atau anjing rabies. Rabies adalah infeksi anthropozoonotic akut, progresif, dan fatal dari sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus dan keluarga Rhabdoviridae. Jadi Rabies sendiri adalah penyakit mematikan yang menular dan telah menghantui peradaban manusia beribu tahun tanpa ditemukan penyembuhnya, jika terkena tanpa diobati sudah bisa dipastikan meninggal. Rabies menyebabkan sekitar 17.400 kematian di seluruh dunia pada tahun 2015. 95% kematian terjadi di Afrika dan Asia (http://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/rabies).
Ibnu Sina menulis tentang rabies dengan judul "Fi Sefati al-Kalbi al-Kalb wa al-Ze'bi al-Kalb wa ibn Avi al-Kalb" ("Deskripsi anjing dan srigala yang terkena rabies ”) dan“ Fi Ahvali Min Azahi al-Kalbi al-Kalb ” (“Kondisi gigitan Anjing yang terkena rabies ”). Dia juga menggambarkan manifestasi klinis rabies pada manusia. Menurut Ibnu Sina, pada tahap akhir penyakit pasien tidak memiliki peluang untuk mengobati penyakit tersebut. Menurutnya, waktu di mana rabies akan menyebabkan kematian berkisar dari tujuh hari hingga enam bulan (dengan rata-rata 40 hari).
Namun pernyataan Ibnu Sina yang paling luar biasa tentang rabies adalah ketika dia memperkenalkan darah anjing yang terkena rabies sebagai antitoksin untuk gigitan hewan rabies. Ibnu Sina menyarankan untuk meletakkan liver anjing rabies pada luka akibat gigitannya.
Pada pengobatan modern terbukti antibodi rabies terdapat pada darah anjing rabies. Dalam pengobatan modern, immunoglobulin yang diambil dari manusia rabies digunakan untuk penyuntikan lokal di pinggiran luka gigitan. Injeksi ini akan menghasilkan imunisasi pasif. Maka bisa dibilang Ibnu sina adalah peletak dasar imunisasi pasif pasca-pajanan (post-exposure passive immunization) yang diketahui saat ini.
Ibnu Sina telah menyebutkan penularan rabies melalui air liur manusia/hewan yang terinfeksi sekitar delapan abad sebelum studi Francois Magendie dan temuan Georg Gottfried Zinke tentang masalah ini.
Imunitas pasif, terjadi ketika seseorang diberikan antibodi orang lain. Ketika antibodi ini dimasukkan ke dalam tubuh orang tersebut, antibodi “dipinjamkan” membantu mencegah atau melawan penyakit infeksi tertentu. Perlindungan yang ditawarkan oleh imunisasi pasif terjadi dalam jangka pendek, biasanya hanya berlangsung beberapa minggu atau bulan. Biasanya digunakan sebagai pengobatan untuk melindungi pasca terinfeksi.
Sedangkan imunitas aktif sebagai pencegahan terjadi ketika sistem kekebalan seseorang bekerja untuk menghasilkan antibodi dan mengaktifkan sel imun lain untuk patogen tertentu dan biasanya berupa kekebalan jangka panjang. Jika orang itu menemukan patogen itu lagi, maka tubuh menjadi kebal dan sudah siap untuk melawannya.
Di barat sendiri, antibodi sebagai imunisasi pasif pertama kali digunakan untuk mengobati penyakit pada akhir abad ke-19. Kisah sukses pertama ada pada difteri, penyakit berbahaya yang menghalangi tenggorokan dan saluran napas. Pada tahun 1890, Shibasaburo Kitasato (1852-1931) dan Emil von Behring (1854-1917) mengimunisasi hewan yang terkena difteri dengan antobodi yang didapat dari hewan yang telah sembuh dari penyakit ini. Selanjutnya, para ilmuwan menunjukkan bahwa mereka dapat menyembuhkan difteri pada hewan dengan menyuntikkan antibody yang didapat dari hewan yang diimunisasi. Mereka segera bergerak untuk menguji pendekatan pada manusia dan mampu menunjukkan bahwa antibodi dari hewan yang diimunisasi dapat mengobati difteri pada manusia. Zat yang mengandung darah yang mengandung antibodi itu disebut antitoksin difteri, dan badan-badan umum kesehatan dan perusahaan komersial mulai memproduksi dan mendistribusikannya dari tahun 1895 dan seterusnya.
Kitasato, von Behring, dan ilmuwan lainnya kemudian mengembangkan pengobatan tetanus, cacar, dan penyakit pes dengan mekanisme yang sama. Penggunaan antibodi untuk mengobati penyakit tertentu menyebabkan upaya untuk mengembangkan imunisasi terhadap penyakit. Sebelum vaksin polio dilisensikan, penanganan penyakit menular banyak berharap pada penggunaan gamma globulin (produk darah yang mengandung antibodi) untuk mencegah penyakit. William M. Hammon, MD, melakukan riset ini di tahun 1951-52. Dia menunjukkan bahwa pemberian gamma globulin yang mengandung antibodi virus polio dapat mencegah kasus polio paralitik. Namun, terbatasnya ketersediaan gamma globulin, dan proteksi jangka pendek yang ditawarkan imunisasi pasif ini menyebabkan pengobatan tidak dapat digunakan dalam skala luas. Lisensi dari vaksin polio yang diteliti oleh Salk atas virus yang dilemahkan pada tahun 1955 sebagai imunisasi aktif akhirnya mampu mengatasi ketergantungan pada gamma globulin untuk mengatasi polio. Inilah awal vaksinasi modern pertama dilisensikan secara luas.
Demikianlah kontribusi peradaban Islam di era Golden age di masa lalu yang dihargai, dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh bangsa barat. Dan ironisnya justru ditolak oleh kaum muslimin sendiri.
Joseph Stokes Jr, MD, dan John Neefe, MD, dahulu kala melakukan uji coba di Universitas Pennsylvania di bawah kontrak kepada Angkatan Laut AS selama Perang Dunia II untuk menyelidiki penggunaan preparat antibodi untuk mencegah infeksi hepatitis (yang sekarang kita sebut hepatitis A). Sesuatu yang harus diketahui bahwa penggunaan vaksin secara meluas pada awalnya diberikan di kalangan militer karena lazimnya penggunaan bioterrorism (penyebaran bibit penyakit menular) selama perang, termasuk penyebaran penyakit anthrax pada perang dunia 1 (oleh Jepang untuk menginvasi China, dan juga digunakan oleh Jerman), perang dunia 2 (hampir disebar lagi oleh Jerman untuk menaklukkan musuh) dan Perak teluk tahun 1991 (Irak membeli spora anthrax dari Amerika).
Jadi vaksin digunakan untuk melindungi tantara di negara barat sejak dulu kala, yang ironisnya ditolak oleh negara-negara muslim yang justru akan merugikan mereka dan membuat mereka lemah ketika suatu saat perang meletus. Padahal peletak dasarnya justru terjadi di zaman kegemilangan islam yang kemudian dikembangkan bangsa barat.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina telah menulis sekitar 450 karya, dimana 240 diantaranya masih bertahan meliputi kedokteran, astronomi, geometri, teologi, filologi dan seni. Pada 1 milenium dari kelahirannya di tahun 1980, banyak artikel diterbitkan untuk menghormatinya dalam berbagai bahasa. Bahkan tahun 1980 ini diabadikan oleh UNESCO sebagai Tahun Peringatan Ibnu Sina sedunia dengan mengadakan berbagai kongres internasional dan festival di berbagai negara di dunia selama 1937 hingga 2004 dan juga publikasi sekitar 750 artikel dan buku-buku dalam berbagai bahasa Eropa selama 1906 hingga 2006 tentang dia dan juga pembentukan jaringan pendidikan ilmiah berjudul "Pusat Pengetahuan Avicenna" di Eropa.
Selain menulis tentang Rabies, Ibnu Sina juga mendeskripsikan penykait smallpox sebagaimana merujuk pada tulisan Ar-Razi, satu abad sebelumnya, juga menjelaskan prosedur bedah SC merujuk pada karya Az-Zahrawi.
Catatan: Vaksin rabies sendiri di Indonesia diwajibkan pada daerah dengan populasi anjing tinggi, yaitu Bali, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat. Selain vaksin pada manusia, hewan pembawa virus rabies juga harus mendapat vaksin sehingga mencegah penularannya pada manusia. Indonesia menargetkan bebas rabies di tahun 2020.

Tidak ada komentar: