Senin, 16 Februari 2015

Kemunduran Sains Dalam Peradaban Islam


Oleh : Mila Anasanti.

Islam selalu merujuk masa lalu, seolah masa kini, dan masa depan tidak menyediakan jawaban yang memuaskan dengan kata lain Islam selalu berlindung di balik “tempurung” tradisi. …Islam gagal merespon perubahan dengan berangkat dari ajaran Islam yang substantif dan pengalaman kebudayaan Islam itu sendiri. Tiadanya kerangka yang memungkinkan ummat Islam melakukan kritik internal antara lain disebabkan oleh mandulnya fungsi ijtihad dan penalaran kritis dalam ranah pemikiran 
(Ziauddin Sardar, 2005:7-8).

Kutipan yang pas untuk potret gambaran ummat Islam saat ini. Tatkala sebagian menolak ilmu-ilmu modern yang menurut mereka bertentangan dengan aqidah.

Maka berselancar di dunia internet sekian lamanya masih saya dapati perdebatan antara mereka yang menolak vaksin, menolak kelahiran secara Caesar, menolak semua obat-obatan kimia atas nama pengobatan islam berbasis nabi, menolak konsep teori evolusi secara total dalam bidang biologi atas nama aqidah, menolak fakta bahwa bumilah yang mengelilingi matahari bukan sebaliknya di bidang fisika atas nama dalil, dan sebagainya.

Dan jika diamati dari sejarah ternyata akarnya adalah kesalah-pahaman ummat Islam di masa lampau dalam mendudukkan filsafat. Kala itu, sains adalah bagian dari filsafat. Tidak hanya berbicara tentang hal-hal metafisik tapi juga menyusun kerangka bagaimana melakukan penalaran kritis terhadap suatu permasalahan.
Kelemahan ummat dalam mengungkap ‘misteri’ ilmu pengetahuan (sains) secara analitis serta mengabaikan kecanggihan perkembangan teknologi yang melesat jika merujuk dalam sejarah adalah faktor internal yang mengakibatkan kemunduran islam dari era kegemilangannya.

Fakta bahwa sains dan teknologi dalam bentuknya yang sekarang tidak berkembang dalam Islam bukan merupakan suatu pertanda dekadensi, sebagaimana sering dikatakan, tetapi merupakan penolakan Islam yang menganggap setiap bentuk pengetahuan sebagai benar-benar sekuler.

Maka jika kita bertolak kebelakang dalam sejarah peradaban islam, ketika nama Al-Kindi disebut sebagai cendekiawan islam pertama yang membawa filsafat dalam dunia islam, majulah ilmu pengetahuan di segala bidang.Tidak hanya pioneer dalam 1 bidang, ilmuwan-ilmuwan kala itu dikenal ahli dalam banyak bidang.

Masalahnya filsafat adalah pisau bermata dua, karena masuknya filsafatlah saat itu peradaban islam semakin maju, tapi karena filsafat pulalah awal kehancuran islam.

Pisau bermata dua : Tradisi intelektualisme Islam dalam menarik kesimpulan menggunakan logika

Bagian ini adalah bagian paling penting yang menjadi akar kemunduran ilmu pengetahuan dalam islam, selain faktor eksternal perang salib yang berkepenjangan, atau dibumihanguskannya peradaban ilmu pengetahuan islam oleh bangsa mongol dengan ditenggelamkannya kitab-kitab para ulama dan ilmuwan.

Kesalah-pahaman sebagian ummat islam dalam mengolah informasi, mencerna dan menyeleksi dan terlebih tanggung jawab dan kehati-hatian dalam menyebarkannya adalah doktrin yang bermuara dari perselisihan yang sangat kompleks di masa lalu.

Al-kindi adalah ilmuwan yang pertama kali membawa filsafat dalam peradaban islam. Baginya filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, maka dalam hal ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan, etika, dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Tidak ada dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan lain yang membawa pada kemaslahatan ummat.

Satu pemahaman al Kindi yang dianggap berani dan mendobrak kejumudan yang ada kala itu yaitu memperkenalkan filsafat ke dalam dunia islam dengan cara mengetuk hati supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri, bahkan jika itu harus datang dari orang non muslim sekalipun, tentu saja ini di luar masalah aqidah. 

Namun permasalahannya bukan sekedar menerima atau menolak ilmu dari kalangan non muslim, tapi termasuk menolak argumentasi ilmiah. Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. 

Bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah di era abad ke-2 H. Selain menggunakan mantiq, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substansi), yang banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya. Ini membuktikan, bahwa mantik atau logika sebagai teknik pengambilan kesimpulan telah digunakan oleh ulama sejak abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, filsafat tidak dikaji secara mendalam pada zaman itu, hanya sekedar membuktikan pemanfaatan logika dalam menghasilkan konklusi atau kesimpulan. 

Cara menarik kesimpulan yang luas dalam ilmu logika kemudian diuraikan oleh Ibn Sina meliputi sembilan bagian, yang di antaranya pembahasan untuk mengetahui secara mendalam mengenai syarat-syarat analogi dalam menyusun proposisi yang menjadi premis-premis. Ini dijelaskan dalam kitab Ponethyca, karya Aristoteles. 

Lalu pembahasan mengenai analogi yang bermanfaat untuk menyerukan kepada orang yang kurang paham, dijelaskan dalam kitab Tonica, karya Aristoteles juga pembahasan mengenai kesalahan berpikir yang terjadi dalam penyusunan argumentasi dan penggunaan dalil, yang terangkum dalam kitab On Sophistical Refutations, karya Aristoteles. Kerangka berpikir ilmiah ini sebenarnya sampai sekarang menjadi dasar di banyak ilmu pengetahuan termasuk algoritma programming, hingga penarikan kesimpulan dalam bidang kedokteran.

Pemahaman al kindi memang diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan dijamannya termasuk Ar Razi, Ibnu Sina dan lainnya. Mereka melangsungkan debat intelektual secara jujur dan rasional tetapi dalam semangat saling menghormati. Perdebatan Ilmiah antara Ibn Sina dan Al Biruni pada abad kesepuluh merupakan salah satu yang paling luar biasa dalam sejarah intelektual Islam. 

Namun pemahaman ini juga berbahaya ketika mulai masuk ke ranah aqidah. Yang asalnya berusaha merasionalkan pengetahuan yang merupakan 'ayat-ayat Allah' yang tersebar di alam alias fenomena alam yang harus diteliti dan ditarik kesimpulan berdasarkan penelitian ilmiah dan kerangka berpikir analitik, namun juga mulai berani masuk dalam wilayah merasionalkan eksistensi ‘wahyu’, atau bahkan eksistensi Allah.

Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama ushuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam.

Ada pula ilmuwan yang mendalami filsafat hingga menyentuh ke ranah aqidah lalu tersesat, semisal Ibnu Sina yang dianggap sebagai panutan para herbalis, dan sebagai ilmuwan islam namun ternyata terpleset secara aqidah hingga menjadi seorang atheis dan mendapat banyak kecaman ulama-ulama pada masanya. 

Ibnu Sina terpeleset jauh dalam menganut filsafat Aristoteles yang tidak mengakui alam semesta ada penciptanya, melainkan alam semesta sudah ada dengan sendirinya tanpa awal, dan Tuhan tidak punya peran penting dalam penciptaan. 

Karena kekhawatiran akan kesesatan filsafat yang akhirnya mendorong dikeluarkkannya fatwa haram menerima ilmu dari luar kalangan Islam. Ibnu Khaldun seorang tokoh sejarahwan yang melakukan perlawanan sengit dalam menolak pemikiran-pemikiran al kindi, ar razi dan ibnu sina. Namun masyarakat luaslah yang kemudian salah memahami permasalahan ini. 

Sejak saat itu telah muncul dikotomi antara ayat-ayat kitabiyyah dan ayat-ayat khauniyyah dikalangan muslim. Jadi timbul persepsi bahwa Islam hanya berbicara tentang ilmu-ilmu sesuai dengan Al-Qur’an, tetapi tanpa mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu yang ada di Al-Qur’an dengan melihat fenomena-fenomena alam semesta. 

Sehingga itu merupakan salah satu faktor kemunduran ilmu pengetahuan di kalangan ummat Islam yang terjadi hingga kini.

Ketika ruqyah Caesar dibawa ke ranah ilmiah

Tulisan ini memang sedikit banyak menyoroti trending topik di jagat facebook, ketika ustadz Nurudin Al Indunissy yang menuliskan kisahnya untuk menolak keputusan Caesar dari para dokter dan menyodorkan solusi ruqyah agar dapat mengupayakan persalinan secara pervaginam meskipun para dokter menganjurkan dilakukan tindakan.

Lantas kemudian, beliau menjanjikan akan menuliskan secara ilmiah kisah penggunaan ruqyah untuk menggantikan caesar dalam tulisan yang ternyata sekarang sudah diposting.

Setelah membacanya saya mengerutkan kening ?  Apa sebenarnya definisi ilmiah yang beliau maksud ? Apakah ada konsensus tentang apa yang dimaksud 'ilmiah' itu antara beliau dengan ilmuwan ? 

Dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau yang juga banyak jasanya di bidang ruqyah, yang saya dapati kutipan-kutipan di tulisan beliau semacam ini:

  • Telah lama saya menghembuskan adanya indikasi gangguan non-medis pada proses Caesar. Maka ini bisa kita bilang masih berupa teori yang belum dibuktikan, atau bahasa kerennya hipotesis (dugaan)
  • Banyak sekali testimony membahagiakan dari saudari-saudari kita yang tidak jadi Caesar setelah diupayakan melalui upaya spiritual dengan Teraphy Al Qur’an (ruqyah syariyyah). 
Jadi testimoni ini hanya pengakuan dari orang-orang yang beliau temui, berapa banyak orang ? Dan ternyata beliau tidak mengamati sendiri secara langsung.
Apakah testimoni atau kesaksian bisa dijadikan dasar pijakan ilmiah? Bisa, ASAL dibuktikan terlebih dahulu. Bagaimana caranya ?

Banyak orang menyandarkan kebenaran hanya berdasarkan terstimoni atau kesaksian orang-orang disekitarnya. 

Ketidak-pahaman mereka terhadap penelitian ilmiah menjadikan mereka tidak mampu membedakan mana bukti ilmiah yang dapat dipegang dan mana yang hanya sebatas dugaan tanpa bisa ditelusuri kebenarannya. 

Apakah diamati secara langsung atau sekedar percaya semua kesaksian tanpa memeriksa secara langsung? 

Jika kita tanyakan apakah mereka yakin benar dengan testimoni mereka, sebagian mengatakan yakin namun tidak mampu membuktikan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, sebagian lagi justru menyatakan tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini, yang ada hanya kebenaran relatif, yang artinya bisa saja benar bisa saja salah

Coba bayangkan jika semua kebenaran di dunia ini relatif, dan kita bebas pilih-pilih sesuka kita dan meyakini semau kita mana saja yang benar menurut ilmu kebatinan, tentu tidak akan tegak undang-undang di negara ini.

Dua orang yang bersengketa masing-masing merasa benar. Kebenaran bisa saja relatif, karena itu diperlukan konsensus atau kesepakatan dengan banyak pihak dalam mendefinisikan kebenaran sehingga semakin dekatlah kita pada kebenaran.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dari masa ke masa, para saintis selalu berusaha mencari metode untuk semakin mendekati kebenaran yang bisa disepakati bersama.

Salah satunya dengan menguji testimoni yang kemudian dipercaya sebagai dugaan (hipotesis) dengan melakukan eksperimen. Hasil akhir eksperimen inilah yang akan menentukan apakah hipotesis kita ajukan bisa diterima atau ditolak dengan metode penelitian yang disepakati oleh para ilmuwan dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang ada, untuk mengukur kekuatan penelitian yang dilakukan.

Dengan hal ini kebenaran bisa dilakukan pendekatan untuk menghilangkan unsur relatif, subyektif, bias dan semacamnya.

Untuk mengukur itu semua, kita mulai dengan sebuah kisah yang merekonstruksi sains, yaitu kisah yang didasarkan pada kisah nyata dalam menjadikan dasar berpijak desain eksperimen yang kemudian disepakati para ilmuwan.

KISAH WANITA PENYICIP TEH YANG MEREVOLUSI SAINS DI ABAD 20.

Kisah wanita mencicipi teh adalah percobaan random terkenal yang dirancang oleh Ronald Fisher dan dilaporkan dalam bukunya ‘The Design Experiment (1935)’. Kisah ini berdasarkan kisah nyata Fisher yang terjadi di Cambridge, Inggris, pada tahun 1920-an yang kemudian dijadikan dasar pijakan dalam desain eksperimen.

Pada suatu pesta yang menghidangkan teh susu yang dihadiri para ilmuwan datanglah Muriel Bristol, seorang wanita yang mengklaim mampu untuk memastikan hanya dengan mencicipinya yang manakah, teh atau susu yang ditambahkan pertama kali di campuran secangkir teh susu.

Bagi sebagian besar orang, klaim ini nampak mustahil, karena jika kita rasakan campuran teh susu tidak nampak bedanya mana cara penyajian yang dilakukan apakah susu dulu atau teh dulu. Jika memang benar memiliki kemampuan demikian, berarti termasuk memiliki kepekaan indra ke-6.

Fisher adalah seorang ilmuwan yang tidak mempercayainya begitu saja klaim sepihak Muriel Bristol meskipun dia mengenal baik Muriel Bristol. Bahkan seandainya teh susu miliknya yang ditebak dengan benar oleh Muriel Bristol, dia menganggab bahwa bisa jadi itu hanyalah kebetulan semata.

Peluangnya adalah fifty-fifty. Karena hanya 1 cangkir yang ditebak. Bagaimana jika dia menyodorkan 10 cangkir dan kemudian semuanya berhasil ditebak ? Tentu klaim Muriel akan lebih meyakinkan untuk dipercaya, apalagi jika diajukan 100 atau bahkan 1000 gelas dan semuanya benar ditebak misalnya ? Tentu semakin banyaknya sample maka semakin kuat pula kita mendekati kebenaran untuk mempercayai apakah klaim Muriel benar atau tidak

Untuk menguji kebenarannya, Fisher memberinya delapan gelas, empat dari masing-masing cangkir dituangkan teh lalu susu, empat yang lainnya dituangkan susu dulu baru teh, lalu ke 8 cangkir tersebut diatur ke meja secara acak. 

Dengan begini kita bisa mempertanyakan apa peluang bagi Muriel Bristol untuk mendapatkan sejumlah tertentu dari cangkir yang dia identifikasi benar, tetapi hanya kebetulan. Perlukah memberitahu Muriel bahwa ada 4 cangkir yang dituangkan susu dulu ? Jika kita beritahu hanya ada 4 cangkir dan cangkir itu disusun tanpa acak tentu peluang Muriel untuk menebak akan lebih besar sehingga pembuktian kemampuan six sense Muriel akan menjadi lebih lemah.

Deskripsi Fisher kurang dari 10 halaman panjangnya dan terkenal karena kesederhanaan dan kelengkapannya mengenai terminologi, perhitungan dan desain percobaan. Memang Fisher tidak terfokus menyatakan apakah Muriel benar memiliki 'kelebihan' dalam mengenali teh susu karena tidak terlalu besar implikasinya dalam kemaslahatan ummat, tapi yang terpenting adalah metode yang diusulkan Fisher untuk membuktikan apakah suatu klaim layak untuk dipercaya setelah melewati serangkaian uji ataukah hanya sebatas klaim. 

Terutama untuk klaim-klaim yang menyangkut keselamatan nyawa. Metode yang diujikan Fisher ini kemudian dikenal dengan Fisher test, yang kemudian dipakai secara umum oleh ilmuwan-ilmuwan yang melakukan uji klinik untuk mengukur tingkat kebenaran.

Dengan demikian percobaan atau eksperimen adalah sarana untuk memvalidasi  gagasan Fisher dari ‘hipotesis nol’, yaitu kebenaran yang lebih banyak dipercayai orang, dalam kasus ini Muriel Bristol hanya asal klaim, dia sama seperti orang biasa, tidak memiliki kemampuan istimewa, dan menguji 'alternatif hipotesis' bahwa bisa jadi Muriel Bristol memang memiliki 'kelebihan' dengan serangkaian percobaan. Jika hipotesis alternatif terbukti maka bisa kita tentukan tingkat kebenarannya, berapa persen kebenaran itu diterima atau ditolak. 

Jadi bukan sekedar asal mungkin, asal testimoni, hal yang paling fatal yang tidak akan pernah terjadi dalam pembahasan ilmiah. Dan sayangnya dari kasus ruqyah untuk caesar ini, yang beliau tuliskan hanya pengamatan 1 orang yaitu istrinya saja yang mana ini tidak bisa diterima secara ilmiah. Ok, mungkin beliau menerapkannya pada orang-orang yang diruqyahnya juga, tapi berapa jumlahnya ? Berapa peluang bahwa ini hanya kebetulan? Berapa jumlah yang berhasil ? Berapa jumlah yang gagal ? Jika ternyata lebih banyak yang gagal, jujurkah kita hanya melaporkan yang berhasl ?Tanpa pengamatan bagaimana kita bisa memastikan ? Bisa jadi keberhasilannya karena ikhtiar yang lain atau memang kasusnya beragam ? Semua itu harus dituliskan secara transparan oleh seorang ilmuwan yang ingin menerbitkan jurnal ilmiah agar tulisannya diakui sebagai tulisan ilmiah. Karena ini menyangkut nyawa, telat tindakan dilakukan SC bisa 2 nyawa melayang sekaligus ! Apalagi jika diikuti secara massal.

Berdasarkan dari kisah inilah, pijakan ilmiah dalam dunia kedokteran disusun. Bahwa segala  klaim tidak bisa langsung dipercaya begitu saja tanpa adanya eksperimen untuk menguji coba kebenarannya. Dan alur berpikir semacam ini sebenarnya asal kerangkanya adalah ilmu logika. Kita memang tidak bisa mendapatkan kebenaran secara mutlak, tapi kita bisa mendapatkan kebenaran yang terukur. Apa yang selama ini dilakukan para ilmuwan bukan mendapatkan kesimpulan percobaan yang 100% benar, tapi mendapatkan kesimpulan yang mendekati benar dengan tingkat confidence (kepercayaan) sedapat mungkin mendekati seratus persen.

Wallaahu a'lam.

Tidak ada komentar: