Minggu, 21 Desember 2008

Ibnu Sina Sang Legenda Kedokteran Islam

Sering sekali kita mendengar mengenai sejarah para pemikir dari dunia barat tak terkecuali di bidang kedokteran. Penemuan-penemuan mereka masih digembar-gemborkan hingga saat ini. Tapi pernahkahsistem pengajaran di tempat kita (selain pelajaran Agama Islam) mengemukakan penemuan-penemuan para ilmuwan Islam. Saya rasa belum ada kecuali bagi mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah Islam.

Pada jaman peradaban kuno dahulu seseorang tidak hanya mengusasai satu keilmuan saja. Hampir semua teori mereka pelajari; sebagai contoh adalah Aristoteles, Ibnu Sina, Rufus of Ephesus, dll.
A.Latar Belakang Lahirnya Kedokteran Islam

Pada sub-bab ini saya tampilkan tulisan dari aanchoto (http://smaniva.blogspot.com), karena menurut saya tulisannya sudah tersusun sistematis dan rapi. Berikut tulisannya:

`’Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,” ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam tulisannya berjudul Contributions of Islam to Medicine. Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern ini merupakan puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun silam.

Saking pentingnya, ilmu kedokteran selalu diwariskan dari generasi ke generasi dan bangsa ke bangsa. Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana.

Orang Yunani Kuno mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis Canterbury Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran adalah Hippocrates atau `Ypocras’ (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis dasar-dasar pengobatan.

Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil menyusun lebih dari 60 risalat ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis risalat pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen (2 M).

Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang pesat di Timur Tengah. Menurut Ezzat Abouleish, seperti halnya lmu-ilmu yang lain, perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut.

Periode pertama dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria dan Persia secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria kedalam bahasa Arab.

Buah pikiran para tabib di era Yunani Kuno secara gencar dialihbahasakan. Adalah Khalifah Al-Ma’mun dari Diansti Abbasiyah yang mendorong para sarjana untuk berlomba-lomba menerjemahkan literatur penting ke dalam bahasa Arab. Khalifah pun menawarkan bayaran yang sangat tinggi, berupa emas, bagi para sarjana yang bersedia untuk menerjemahkan karya-karya kuno.

Sejumlah sarjana terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Jurjis Ibn-Bakhtisliu, Yuhanna Ibn Masawaya, serta Hunain Ibn Ishak ikut menerjemahkan literatur kuno. Selain melibatkan sarjana-sarjana Islam, tak sedikit pula dari para penerjemahan itu yang beragama Kristen. Mereka diperlakukan secara terhormat oleh penguasa Muslim.

Proses transfer ilmu kedokteran yang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 M membuahkan hasil. Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru.

Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `’Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,” papar Ezzat Abouleish.

Sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon.

Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Pemilik nama lengkap Abu-Bakr Mohammaed Ibn-Zakaria Al-Razi itu adalah dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Salah satu buku kedokteran yang dihasilkannya berjudul ‘Al-Mansuri’ (Liber Al-Mansofis).

Ia menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul ‘Al-Murshid’. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah ‘Al-Hawi’. Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar air.

Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia adalah ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah bedah.

Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul, ‘Al-Tastif Liman Ajiz’an Al-Ta’lif’ - ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga menggunakan alkohol dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga menulis buku tentang tentang operasi gigi.

Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M). Salah satu kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine. Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah kedokteran di Eropa.

Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul ‘Al- Kulliyat fi Al-Tibb’ (Colliyet). Buku itu berisi ramngkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul ‘Al-Taisir’ mengupas praktik-praktik kedokteran.

Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208 - 1288 M). Ia terlahir di awal era meredupnya perkembangan kedokteran Islam. Ibnu El-Nafis sempat menjadi kepala RS Al-Mansuri di Kairo. Sejumlah buku kedokteran ditulisnya, salahsatunya yang tekenal adalah ‘Mujaz Al-Qanun’. Buku itu berisi kritik dan penmbahan atas kitab yang ditulis Ibnu Sina.

Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan Afrika.

Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di abad pertengahan.

B.Ibnu Sina

Ibnu Sina atau yang sering juga disebut Avicena ini bernama asli Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina adalah seorang Persia yang lahir pada tahun 370 Hijriyah atau sekitar 980 Masehi di sebuah desa yang bernama Khormeisan(sumber lain menyebut dengan Afsyahnah) dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian sekarang Persia, Iran). Sejak kanak-kanak, Ibnu Sina yang bermadzhab Ismailiyah ini sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang diajarkan ayahnya. Pada waktu itu, ayahnya adalah seorang gubernur di suatu daerah pemukiman bernama Nuh Ibnu Mansur yang merupakan bagian Afghanistan(dan juga Persia, Iran). Ayahnya ini menginginkan anaknya dididik dengan baik di Bukhara. Karena kecerdasannya yang sangat luar biasa, seorang guru sampai sempat berpesan kepada ayahnya agar kelak Ibnu Sina jangan sampai terjun ke dalam pekerjaan apapun selain hanya untuk menimba ilmu.

Ibnu Sina secara cepat dapat mengusasai banyak keilmuan di usia muda, dan beliau menjadi terkenal hingga suatu saat ketika beliau masih berumur 17 tahun diberi kehormatan untuk memeriksa keadaan Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang saat itu sedang menderita penyakit yang kronis pada perutnya, yang saat itu dokter-dokter istana tidak mampu untuk menanganinya. Karena keberhasilannya ini, beliau akhirnya diijinkan untuk memasuki perpustakaan istana Samani yang besar. Beliau mengatakan hampir semua buku yang dicarinya sejak dahulu ada di situ, dan banyak buku-buku luar biasa yang belum pernah diketahuinya. Beliau banyak menyibukkan diri di sini sembari menuliskan karya-karyanya seperti Al-Qanun(di sumber lain dikatakan bahwa kitab Al-Qanun Fi Al-Tibb ini mulai dituliskan di kota Rayy dan Hamadan) yang berisi masalah-masalah di bidang kedokteran, dan Al-Syifa’ yang merupakan ensiklopedi masalah-masalah filsafat. Karya-karya besar inilah yang nantinya akan memberi banyak manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Kenapa dua kitab ini yang paling sering disebut-sebut?Sebagaimana diketahui, sekalipun Ibnu Sina pandai dalam banyak ilmu pengetahuan(seperti matematika, metafisika, astronomi, logika, falsafah, tafsir, politik, dan bahkan musik), tetapi ilmu filsafat dan kedokteran inilah yang sama-sama kuat berada dalam dirinya.

Jika kalian mencoba membayangkan seberapa jauh kecerdasan seorang Ibnu Sina, maka akan saya berikan contohnya; Ketika berumur sepuluh tahun, beliau sudah berhasil untuk menghafal Al-Qur’an(sumber lain mengatakan 5 tahun); Umur 16 tahun beliau sudah berhasil menjadi tabib yang terkenal hingga akhirnya dia mendapat penghormatan seperti disebut di atas pada umur 17 tahun, dan umur 18 tahun beliau sudah terkenal sebagai seorang dokter.
C.Pengembaraan Sang Ibnu Sina

Jika kalian pikir bahwa keilmuan Ibnu Sina hanya berasal dari satu guru yang ditunjuk ayahnya tersebut, kalian salah besar. Beliau bukan orang yang cerdas hanya karena faktor keberuntungan berada dalam keluarga yang mampu. Ibnu Sina mulai belajar sendiri ketika umur 16 tahun dan beliau terkenal dengan citranya sebagai seorang pengembara. Pengembaraannya inilah yang akhirnya menemukan beliau pada guru-guru yang baru. Awal pengembaraannya dimulai setelah hari kematian ayahnya(tetapi di sumber lain dikatakan bahwa ayahnya meninggal saat usia Ibnu Sina 22 tahun). Tempat yang menjadi tujuan awal pengembaraan setelah hari duka tersebut adalah Jurjan, sebuah kota besar di Timur Tengah. Di sini Ibnu Sina bertemu dengan seorang guru bernama Abu Raihan Al-Biruni yang merupakan sastrawan dan ulama besar.

Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan ke Rayy dan selanjutnya Hamadan(Iran). Di tempat ini beliau banyak berjasa terhadap raja Hamadan. Di sepanjang pengembaraannya tadi, beliau tak henti-hentinya menuliskan ilmu-ilmu pengetahuan baru yang tertuang dalam kitab-kitab.

Tetapi perlu diketahui, bahwa sebenarnya yang menjadi guru awal bagi Ibnu Sina adalah ayahnya sendiri yang bernama Abdullah Natalia, seorang alim yang memperoleh keilmuannya di bidang kedokteran dari seorang kristian bernama Isa Yahya.

D.Keilmuan yang Tak Pernah Mati

Sampai saat ini, keilmuan Ibnu Sina masih banyak digunakan di seluruh dunia. Sebagai contoh, sampai abad ke-17 kitab Al-Qanun(The Canon of Medicine) masih menjadi referensi di sekolah kedokteran Eropa. Dan saat ini kitab itu disimpan di universitas Oxford, Amerika.

Lalu, kenapa kitab Ibnu Sina lebih diperhitungkan daripada kitab seorang filsuf Yunani yang terkenal Aristoteles, padahal buku terjemahannya menjadi sumber bacaan Ibnu Sina itu sendiri? Saat itu karangan Aristoteles banyak yang hilang, dan sekalipun ditemukan, susunan karangan Aristoteles sulit dipahami, tidak seperti tulisan Ibnu Sina yang tersusun secara sistematis dan lengkap. Sampai-sampai ada seorang filosof Eropa Barat yang terkenal pada abad pertengahan bernama Roger Bacon mengatakan “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.�

Dalam bidang materia medica (pengobatan), Ibnu Sina menemukan banyak bahan nabati baru seperti Zanthoxyllum budrunga, dimana tumbuh-tumbuhan ini banyak membantu dalam mengobati radang selaput otak (meningitis).

Ibnu Sina juga menemukan teori sistem peredaran darah manusia untuk yang pertama kalinya, 600 tahun sebelum William Harvey akhirnya juga mengemukakan teori ini yang sebenarnya hanya menyempurnakan teori dari Ibnu Sina.

Beliau jugalah yang pertama kali mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas dan kemudian menjahitnya.

Tidak berhenti hanya sampai di situ, beliau juga terkenal dengan dokter ahli jiwa dengan cara-cara modern yang kini disebut psikoterapi.
sumber :http://3schizodhi.co.cc/?p=184#more-184

Tidak ada komentar: